Di sore hari yang cerah (tapi hati ini tetap saja gelap
karena tak ada lagi wanita spesial yang membuatnya berwarna). Gw menjalani
rutinitas yang secara sukarela gw lakukan. Yaitu memberi makan ayam. Ayam –
ayam yang gw pelihara sejak kapan tau itu waktunya gw lupa, mereka itu selalu
nurut sama gw. Lebih tepatnya ketika mau gw beri makan. Sisanya, selalu lari
ketika gw hampiri.
Di sore hari ini, gw yang Cuma memakai celana kolor warna
merah dan baju berwarna putih. Yang kalau di lihat oleh orang lain dari
kejauhan mirip seperti bendera polandia yang tergantung di tiang berkarat. Iya,
itulah penampakan gw sore hari ini.
Ketika gw sedang memberii makan ayam, lewat seorang gadis
manis yang selama ini gw tunggu. Dia yang pulang sekolah seolah – olah akan
tertimpa bencana karena melewati jalur yang salah. Yang gw perhatikan saat itu
dari kejauhan sebelum dia lewat depan gw, yaitu cara dia berjalan. cara
berjalan dia yang awalnya santai mencirikan cara berjalannya wanita, kemudian
berubah ketika mau melewati gw. Cara berjalannya berubah menjadi cara
berjalannya atlit jalan cepat. Mungkin
dia sadar akan musibah yang akan dia terima.
Namun yang mungkin dengan terpaksa dia lakukan ketika
lewat didepan gw, dia tersenyum manis. Senyumnya manis karena dia mempunyai
lesung pipi. (Dan ketika dia tersenyum kearah gw, serasa ada tulisan di
pipinya: “Awas! Lubang galian kabel!”).
Gw yang udah lama menunggu kesempatan ini, kesempatan
yang akan membuat gw mendapatkan nomor hape si dia. Tanpa berpikir (karena gw
sadar gw gak punya pikiran), gw langsung menghampiri dia. Dan dia pun
menurunkan tempo berjalannya.
Gw emang udah lama ingin sekali memiliki nomor hape dia.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bahkan bulan demi bulan gw menunggu momen
yang tepat untuk minta nomor hape dia.
Walaupun bisa di bilang rumah gw dekat dengan rumah dia,
tapi gw sangat jarang bertemu dengan dia. Dan gak mungkin juga kalau tiba –
tiba gw langsung main ke rumah dia. Apa yang bisa gw (Si Pemalu) ingin
bicarakan? Kalau hanya untuk meminta nomor hape, gw gak mau menguji adrenalin
gw dengan cara ekstrim seperti itu.
Bahkan ketika gw masih menjadi kakak kelas dia di sekolah
(Masa Sih?). Setiap gw berjumpa dengan dia, gw hanya bisa mengucapkan kata:
“Maca aloh, Cubhanaloh, Cantik Ican”. Sekalipun gw bisa mengucapkan kata – kata
lain, yaa Cuma: “eh buseh, giginya di pager. Takut di gondola kucing kayaknya
yaa”.
Tempo berjalan cepat yang mulai berubah menjadi lambat
ketika gw hampiri, membuat gw semakin percaya diri untuk meminta nomor hape si
Dia.
“Dhe (nama panggilan gw
untuk para adhe – adhean). Boleh minta nomor hapenya gak?” gw berkata dengan
diiringi senyuman mala petaka yang biasa gw umbar.
Hal yang terlintas
dalam benak gw saat ini adalah, gw lagi gak megang hape. Hape gw ada di pojokan
kamar (tempat biasa gw menyimpannya). Yang gw pegang hanyalah beberapa butir
beras yang gw pakai untuk memberii makan ayam.
“Gak hafal” dia berkata
sambil berjalan pelan
“Bohong banget” gw
membalas sambil mengikuti pelannya ia berjalan
“Beneran” nada
bicaranya ituloh. Lembut – lembut alay tapi bohong
“Masa sih?” gw mencoba
bicara dengan nada lembut – lembut alay. Yaa walaupun gw sadar jadinya malah
nada lembut – lembut bikin eneg
“Nanti deh” ini jawaban
yang dari awal gw sadar bakal pasti gw terima. Dan mungkin gw tertolong dengan
jawaban ini. kalaupun dia jawab : “Yaudah nih simpan nomor aku”. Gw bakal
bingung mau gw simpan dimana. Nyatanya yang gw genggam hanya masih beberapa
butir beras. Gak mungkin gw harus ngambil hape dulu. Gw gak mau membuatnya
menunggu. Kalaupun gw harus ngambil hape, pasti dia bakalan kabur menyelamatkan
diri. Dan gak mungkin juga gw membuatnya repot dengan menyuruhnya mengeluarkan
pulpen dan kertas dari dalam tasnya. Gw yang sedang meminta, dan kemudian
membuatnya repot. Sama dengan awal bencan yang mengerikan (buatnya).
Sependek jalan karena baru sekitar sepuluh meter gw jalan
berdampingan dengan dia. Sependek itu pula berasa ada banyak bunga mawar di
pinggir jalan setapak yang gw lewati ketika jalan berdampingan dengannya. Yang
pada kenyataannya hanya ada segumpluk bunga pasir yang hampir gw injek.
Dan dari kejauhan Nampak empoknya si Bombay yang
berteriak kearah kami (Gw dan dia):
“Ciyeee R***A pacarnya
Firman”
Gw yang sedikit malu
dan lebih pilih untuk menghiraukan teriakan itu dan kemudian berkata kepada Dia
(R***A):
“Besok yaa dhe, nomor
hapenya kakak tunggu”
Tanpa dia jawab, dan
dia pun mempercepat kembali tempo berjalannya. Sedangkan gw, putar haluan dan
kembali memberii makan ayam. Dalam hati gw mengamini suara teriakan empoknya si
Bombay tadi. Gw menganggap suara teriakan doa berbentuk fitnahan yang wajib di
amini. Mungkin kalau dari sisi si R***A, suara teriakan itu adalah suara
teriakan fitnahan berbentuk doa yang gak wajib untuk di amini. Mungkin dalam
hatinya berkata: “Naudzubillah min zalik”
Keesokan sorenya gw menunggu dia pulang sekolah yang
biasanya lewat depan rumah gw. Tidak seperti sore kemarin, hari ini gw libur memberii
makan ayam. Tugas ini gw alihkan ke adik gw. Karena tugas gw kali ini menunggu
si R***A lewat depan rumah gw. Dan yang pastinya, kali ini gw menggenggam hape
gw yang udah gak pantes di sebut hape. Mungkin lebih pantes di sebut bagelan
anjing, atau ganjelan pintu.
Gw menunggu dan masih menunggu. Sampai adzan magrib pun
gw masih menunggu. Biasanya sebelum adzan magrib dia udah lewat. Terlintas
dalam pikiran gw, pasti dia lebih memilih jalan memutar ketimbang jalan lurus
penuh bencana.
Esok dan lusa sore gw masih tetap menunggu dia lewat. Dan
ternyata dia tetap tau mau lagi lewat depan rumah gw. Mungkin dia trauma atau
apalah – apalah. Yang jelas, sampai saat ini, hati ini masih tetap kosong tak
berwarna. Sekalipun berwarna, hanya ada warna hitam. Rasa yang terbenam beriringan
dengan matahari mulai memudar dan yang ada hanya tinggal sisi gelap hati yang
kembali belum bisa berwarna karena belum ada lagi wanita spesial yang membuat
hati ini berwarna.
0 comments:
Post a Comment