Saturday, April 9, 2016

Macet Greget

            29 maret 2016, tepatnya hari selasa. Yaa … Selalsa pagi yang teramat pagi buat orang seperti gw yang jarang bangun pagi karena terlalu sering begadang, sampai-sampai gw lupa rasanya bangun pagi itu seperti apa. Lupa akan betapa sehatnya bangun pagi, sekaligus lupa betapa menyebalkannya bangun pagi. Untuk sekrang-sekarang ini, gw rasa memang bangun pagi itu menyebalkan. Bangun pagi menyebalkan menurut gw, karena setiap kali gw bangun pagi, pasti gw bingung mau ngapain. Mau berangkat kerja, belum ada panggilan kerja. Yaa… gw ini hanya pegawai freelance. Saking freelance-nya gw sampai merasa gw ini adalah seorang pengangguran. Mungkin hampir semua pengangguran di luar sana menganggap diri mereka sebagai pegawai freelance.

            Pagi ini gw kembali bangun pagi dengan sebuah alasan, mengantar Encing gw berangkat kerja. Yaa… pekerjaannya sebagai guru memaksa gw bangun pagi dengan mata yang merah, mirip dengan mata seekor banteng yang melihat kancut warna merah milik janda kampung sebelah. Gw gak tau kenapa gw mengibaratkan mata gw yang merah dengan mata banteng yang merah karena melihat kancut warna merah milik seorang janda yang di tinggal di kampung sebelah. Mungkin ada sebuah kebringasan di otak gw pagi ini, sehingga membuat terlihat sangat nyata. “Merah, karetnya belum melar, milik seorang janda”.

            Jalanan pagi ini masih sama seperti jalanan kemarin malam. Hanya suasananya saja yang sedikit berbeda. Kalau pagi hari di hari kerja/sekolah, jalanan ramenya gak ketolong. Kalau malam, mungkin ada begal. Pagi ini jalanan serasa sempit. Begitu banyak kendaraan yang melintas dan saling balap-membalap.

            Sampai pada di sebuah pertigaan, lebih tepatnya di jembatan serong, gw terjebak macet dengan arus jalanan yang sama-sama ingin menerobos kemacetan. Rombongan motor yang ada di jalur gw, lebih beruntung karena mendapat celah untuk menerobos kemacetan. Ketika hampir lepas dari kemacetan, ada seorang bapak tua yang tidak lain dan tidak bukan adalah seorang tukang ojek yang biasa mangkal tepat di sebelah jembatan yang nyerong itu. Dia menyebrang dengan terburu-buru dan dengan tampang yang gelisah.

            Karena saking terburu-burunya, si bapak tua tersebut terserempet motor yang ada di depan gw. Jelas si bapak tua itu sewot kepada si pengendara motor yang sama tuanya dengan dia. si bapak tua yang kesal,  tanpa sepatah katapun, dia langsung menendang motor si pengendara dengan tanpa tenaga.
“Tua-tua bego!” sambil menekan gas motor, si pengendara sedikit menengok kearah si bapak tua.
 “Deh! Lu yang bego!” si bapak tua balas menjawab
Gw gak habis pikir, entah si bapak tua tukang ojek yang terlalu terburu-buru atau si bapak tua pengendara yang ingin buru-buru lepas dari kemacetan. Kedua bapak tua ini bisa di bilang sama-sama gak salah, bisa juga di bilang keduanya sama-sama salah. Si bapak tua tukang ojek salah, karena menyebrang dengan ketidak kehati-hatian. Dan si bapak tua pengendara salah, karena terlalu terobsesi lepas dari kemacetan. Keduanya sama-sama gak salah karena jalanan milik semua orang. Mau dengan cara apapun si bapak tua tukang ojek menyebrang jalan, itu adalah hak dia. Dan sebagai pengendara, si bapak tua pengendara harus lebih memberi ruang kepada penyebrang jalan. Tapi sebagai penyebrang jalan, si bapak tua juga harus tau kapan dia harus menyebrang, dan harus tau kapan dia harus menendang. Dan yang paling penting, si bapak tua tukang ojek harus tau, bagian mana yang pas untuk di tendang. Di bagian sela-sela paha contohnya.

            Yang paling mengganjal di hati gw adalah, mereka sama-sama tua, dan mereka saling mengejek dengan sebutan: “Tua-tua bego!”. Menurut gw, kalau kesel, yaa… kesel aja. Gak usah saling ejek dengan ejekan yang mercerminkan diri masing-masing. Kalian berdua emang tua, dan mungkin juga kalian bego. Tapi jangan sampai ada diskriminasi “Tua-tua bego!” di antara kalian berdua. Lebih baik kalian saling ejek dengan ejekan yang lebih baik. Agar mencirikan bahwa kalian adalah orang tua yang Tua-tua keladi, makin tua makin jadi … BEGONYA!

            Setelah lepas dari drama dua orang tua yang emang bener-bener tua, gw melaju dengan lancar sampai sebelum gw berada di belakang truk yang membawa besi. Truk itu mengeluarkan asap hitam pekat dari knalpotnya. Dari pada muka gw tambah buram, gw lebih pilih untuk tidak ambil resiko dan mulai mengendarai motor dengan pelan. Dari belakang gw melaju motor yang pengendaranya adalah seorang cewek. Ia mendekat ke belakang truk, dan entah di sengaja atau tidak, truk itu mengeluarkan asap hitam pekatnya tepat menyerebungi si cewek itu. Dalam hati gw berucap: “Yailah, neng, neng, make up lu bermutasi menjadi hitam dah. Atau mungkin make up lu itu bakalan luntur”. Dan yang paling ekstream terucap di benak gw: “Yailang, neng, luntur dah itu muka lu!”.

            Gw yang sadar akan telat mengantar encing gw ketempat ia mengajar, lebih pilih berjalan lebih santay ketimbang harus dapet semprotan dari truk pembawa besi. Gw sadar dengan wajah gw yang sedemikian rupa. Dan gw gak ingin membuatnya menjadi lebih tidak enak untuk dilihat.

            Setelah semua drama-drama greget dijalanan berlalu, gw pulang dengan muka kusam. Tanpa (Baca: Males) cuci muka, gw kembali meneruskan tidur ganteng gw yang terpotong. Yaa... karena cuma pas tidur doang gw merasa ganteng. Karena ketika gw tidur, gak ada orang yang mau melihat pose gw ketika tertidur. Kalaupun ada, dan mereka mengejek, gw gak akan tau apa yang mereka katakana dalam setiap ejekan mereka. Dan gw tetap merasa ganteng ketika tertidur~

0 comments:

Post a Comment